REVIEW FILM IP MAN 4: THE FINALE – FILM AKSI YANG MENGULANG FORMULA DENGAN KOREOGRAFI LAGA YANG TETAP MEMIKAT
Sinopsis
Beberapa tahun setelah akhir peristiwa dalam Ip Man 3, sang master Wing Chun Ip Man (Donnie Yen) hidup hanya berdua dengan anaknya Ip Ching (Ye He) yang dikeluarkan dari sekolah
karena berkelahi melawan perundung. Mengetahui bahwa umurnya tak lama lagi, Ip
Man bertekad mempersiapkan kehidupan yang baik untuk Ip Ching kelak. Gayung
bersambut, sebuah undangan datang dari muridnya, Bruce Lee (Kwok-Kwan Chan) untuk berkunjung ke Amerika Serikat.
Kunjungan yang diniatkan untuk melihat kondisi Amerika yang digambarkan
sebagai negeri harapan di era tersebut, sekaligus mencari sekolah untuk Ip
Ching ternyata tidak berjalan lancar bagi Ip Man. Ia harus berhadapan dengan komunitas
pecinan pimpinan Master Tai Chi, Wan Zong Hua (Yue Wu) yang mempersulit izin sponsor tinggal di AS, belum lagi
saat Ip Man harus terlibat masalah dengan putri Wan Zong Hua, Yonah (Vanda Lee) yang merembet ke persaingan
ilmu beladiri Cina dengan militer AS yang diwakili oleh Barton Geddes (Scott Adkins) yang bengis dan kejam. Ip
Man pun harus bertarung sekali lagi untuk mempertahankan harga diri ilmu beladiri
asli Cina yang kerap diremehkan.
Ulasan
Seri keempat sekaligus digadang-gadang sebagai seri pamungkas yang
dituliskan oleh empat orang penulis ini sesungguhnya tidak menawarkan hal yang
baru. Semua terasa repetitif dengan menggunakan formulasi seperti ketiga film sebelumnya.
Meskipun begitu film ini jauh dari kata buruk, bahkan bisa penulis simpulkan
lebih baik dari film ketiganya meski tak sebaik dua film pertama.
Keempat penulis naskah yang terdiri dari, Tai-lee Chan (Ip Man Trilogy,
Big Brother), Lai-Yin Leung (Ip Man 3, Kill Zone 2), Dana Fukazawa (Development Hell, Sky on Fire) dan Edmond Wong (Ip Man trilogy,
Saving General Yang) menuliskan naskah dengan formulasi yang memulai babak
pertama tentang kehidupan Ip Man, lalu konflik dengan sesama master beladiri
Cina dan akhirnya bersatunya para master beladiri Cina melawan satu musuh
bersama. Klasik.
Guliran plotnya berjalan mulus, dengan kegetiran mewarnai dari sebuah kabar
yang diterima Ip Man sampai pertengkarannya dengan Ip Ching yang tidak ingin
sekolah, tetapi ingin berlatih kungfu saja. Sikap tenang Ip Man mendidik
anaknya sangat diuji di babak pertama film sekaligus menunjukkan sifat kebapakan
yang dramatis. Tidak hanya bagian drama, perkelahian di babak pertama yang
diwakili oleh Bruce Lee pun sangat baik memikat penonton.
Meski lokasi sudah berpindah ke Amerika dan konflik dengan sang anak belum
juga mereda, Ip Man bahkan harus dihadapkan dengan berbagai kesulitan yang
membuat hatinya gusar. Beruntung ada Yonah yang secara tidak langsung
mengingatkannya pada Ip Ching dan menjadikan kehidupan Yonah sebagai remaja imigran
Cina yang hidup di Amerika sebagai contoh sebelum membawa Ip Ching tinggal di sana.
Babak kedua ini berlangsung sangat intens dengan beberapa puncak konflik
yang terbagi rata, antara Ip Man dengan Wan Zong Hua, dengan para pembully
Yonah dan pertarungan brutal Ip Man dengan instruktur karate yang sombong.
Ketiga konflik tersebut bermuara ke babak 3 yang klimaksnya akan sangat
memuaskan para penggemar film laga.
Nama Yuen Woo Ping (Fist of
Legend, Once Upon A Time In China) selaku pengarah koreografi laga patut
dikedepankan selain dari nama Donnie Yen
dan Wilson Yip. Pengalamannya selama
48 tahun menjadi penata laga sudah tidak diragukan lagi dan karyanya di film
ini sangatlah apik. Adegan-adegan pertarungan di film yang memakai banyak
disiplin ilmu beladiri diarahkan dengan variatif dan atraktif. Kerjasama beliau
dengan sinematografer Siu-Keung Cheng
(Drug War, Fight Back To School) terasa
kompak memadukan koreografi tarung dengan pergerakan kamera yang estetis.
Pujian pun tidak lepas diberikan kepada editor Ka-Fai Cheung (Kungfu Jungle,
Ip Man trilogy) yang memang sudah berpengalaman menangani penyuntingan
film-film laga.
Di luar dari adegan laga yang apik sutradara Wilson Yip juga layak diapresiasi untuk kemampuannya menjaga ritme
film dengan mengatur keseimbangan porsi drama dan laga dalam film. Plot jadi
mengalir enak tanpa kendala yang berarti dan eskalasi emosi penonton meningkat
secara baik hingga puncaknya di klimaks film terdengar tepuk tangan membahana
di dalam studio bioskop.
Selain berbagai kelebihan ada juga beberapa kekurangan dalam film di
antaranya suasana periode tahun 1960-an kurang terasa, baik itu dari bangunan
gedung maupun pakaian yang digunakan. Kemudian karakter Yonah kurang terasa perkembangannya,
soal pilihan antara cheerleader atau belajar Tai Chi, walaupun pada akhirnya
menjadi masukan bagi Ip Man dalam mendidik Ip Ching. Satu lagi make up Ip Man
sendiri terasa kurang tua, mengingat harusnya di tahun 1960-an harusnya beliau
sudah berusia 67 tahun.
Dari sisi akting, Donnie Yen (Kungfu Jungle, SPL) tidak diragukan
lagi kefasihannya dalam memerankan Ip Man. Aktor laga berusia 56 tahun ini
masih tetap prima dalam melakonkan adegan laga sehingga tampak bisa dipercaya
sebagai guru kungfu berusia lanjut. Pemeran sang legenda Bruce Lee muda, Kwok-Kwan Chan (Kungfu Hustle, Ip Man 3) juga memberikan
kontribusi baik dan mampu mengemban beban berat melanjutkan perannya sebagai sang legenda. Aksi pertarungan yang ia lakoni
sangat mencuri perhatian meskipun dengan screentime yang terbatas.
Yue Wu (Little Big Soldier, Kungfu Monster) sebagai Wan Zong Hua adalah
aktor lain yang mampu mengkombinasikan kualitas akting dan laga dalam film ini.
Perannya yang abu-abu berkat penulisan karakter yang baik menjadikan
penampilannya tampak menonjol dalam film. Sementara itu Scott Adkins (Doctor Strange,
Boyka) tampil beringas dan intimidatif dalam perannya segbagai antagonis
satu dimensi yang rasis.
Penampilan aktor-aktor pendukung dalam film juga sangat membantu
keseluruhan film seperti sang aktris pendatang baru berbakat Vanda Lee , si mantan member F4, Vanness Wu (serial Meteor Garden, Star Runner), si instruktur karate Chris Collins (Paradox, Wolf Warrior) sampai ke Ye He
pemeran Ip Ching dan aktor yang selalu ada di film Ip Man Kent Cheng (Bodyguard From
Beijing, Crime Story).
Kesimpulan Akhir
Kisah pamungkas dari legenda beladiri Wing Chun, Ip Man, dihadirkan lewat
film keempatnya yang berjudul Ip Man 4:
The Finale yang meski memiliki formulasi sama dari tiga film sebelumnya
tapi masih memiliki plot yang memikat, karakterisasi menarik serta adegan-adegan
laga menawan yang layak diberikan tepuk tangan meriah. Sebuah film laga yang
bagus untuk disaksikan menyambut libur akhir tahun sekaligus menutup tahun 2019
dengan kisah kepahlawanan yang menginspirasi dari seorang legenda bernama Ip
Man.
My Rate: 4 out of 5 Stars
Komentar
Posting Komentar