REVIEW FILM IP MAN 4: THE FINALE – FILM AKSI YANG MENGULANG FORMULA DENGAN KOREOGRAFI LAGA YANG TETAP MEMIKAT


Kisah hidup master Wing Chun sekaligus guru dari Bruce Lee yang bernama Ip Man hadir kembali di layar lebar dalam film pamungkasnya yang bertajuk Ip Man 4: The Finale. Kembali memakai jasa sutradara Wilson Yip yang juga menyutradarai tiga film sebelumnya serta masih mengandalkan Donnie Yen sebagai Ip Man sang legenda. Film yang turut dibintangi oleh aktor laga Hollywood, Scott Adkins, ini akan tayang dalam program midnight tanggal 28 Desember 2019 di bioskop Indonesia.

Sinopsis


Beberapa tahun setelah akhir peristiwa dalam Ip Man 3, sang master Wing Chun Ip Man (Donnie Yen) hidup hanya berdua dengan anaknya Ip Ching (Ye He) yang dikeluarkan dari sekolah karena berkelahi melawan perundung. Mengetahui bahwa umurnya tak lama lagi, Ip Man bertekad mempersiapkan kehidupan yang baik untuk Ip Ching kelak. Gayung bersambut, sebuah undangan datang dari muridnya, Bruce Lee (Kwok-Kwan Chan) untuk berkunjung ke Amerika Serikat.

Kunjungan yang diniatkan untuk melihat kondisi Amerika yang digambarkan sebagai negeri harapan di era tersebut, sekaligus mencari sekolah untuk Ip Ching ternyata tidak berjalan lancar bagi Ip Man. Ia harus berhadapan dengan komunitas pecinan pimpinan Master Tai Chi, Wan Zong Hua (Yue Wu) yang mempersulit izin sponsor tinggal di AS, belum lagi saat Ip Man harus terlibat masalah dengan putri Wan Zong Hua, Yonah (Vanda Lee) yang merembet ke persaingan ilmu beladiri Cina dengan militer AS yang diwakili oleh Barton Geddes (Scott Adkins) yang bengis dan kejam. Ip Man pun harus bertarung sekali lagi untuk mempertahankan harga diri ilmu beladiri asli Cina yang kerap diremehkan.


Ulasan

Seri keempat sekaligus digadang-gadang sebagai seri pamungkas yang dituliskan oleh empat orang penulis ini sesungguhnya tidak menawarkan hal yang baru. Semua terasa repetitif dengan menggunakan formulasi seperti ketiga film sebelumnya. Meskipun begitu film ini jauh dari kata buruk, bahkan bisa penulis simpulkan lebih baik dari film ketiganya meski tak sebaik dua film pertama.

Keempat penulis naskah yang terdiri dari, Tai-lee Chan (Ip Man Trilogy, Big Brother), Lai-Yin Leung (Ip Man 3, Kill Zone 2), Dana Fukazawa (Development Hell, Sky on Fire) dan Edmond Wong (Ip Man trilogy, Saving General Yang) menuliskan naskah dengan formulasi yang memulai babak pertama tentang kehidupan Ip Man, lalu konflik dengan sesama master beladiri Cina dan akhirnya bersatunya para master beladiri Cina melawan satu musuh bersama. Klasik.

Guliran plotnya berjalan mulus, dengan kegetiran mewarnai dari sebuah kabar yang diterima Ip Man sampai pertengkarannya dengan Ip Ching yang tidak ingin sekolah, tetapi ingin berlatih kungfu saja. Sikap tenang Ip Man mendidik anaknya sangat diuji di babak pertama film sekaligus menunjukkan sifat kebapakan yang dramatis. Tidak hanya bagian drama, perkelahian di babak pertama yang diwakili oleh Bruce Lee pun sangat baik memikat penonton.


Meski lokasi sudah berpindah ke Amerika dan konflik dengan sang anak belum juga mereda, Ip Man bahkan harus dihadapkan dengan berbagai kesulitan yang membuat hatinya gusar. Beruntung ada Yonah yang secara tidak langsung mengingatkannya pada Ip Ching dan menjadikan kehidupan Yonah sebagai remaja imigran Cina yang hidup di Amerika sebagai contoh sebelum membawa Ip Ching tinggal di sana.

Babak kedua ini berlangsung sangat intens dengan beberapa puncak konflik yang terbagi rata, antara Ip Man dengan Wan Zong Hua, dengan para pembully Yonah dan pertarungan brutal Ip Man dengan instruktur karate yang sombong. Ketiga konflik tersebut bermuara ke babak 3 yang klimaksnya akan sangat memuaskan para penggemar film laga.

Nama Yuen Woo Ping (Fist of Legend, Once Upon A Time In China) selaku pengarah koreografi laga patut dikedepankan selain dari nama Donnie Yen dan Wilson Yip. Pengalamannya selama 48 tahun menjadi penata laga sudah tidak diragukan lagi dan karyanya di film ini sangatlah apik. Adegan-adegan pertarungan di film yang memakai banyak disiplin ilmu beladiri diarahkan dengan variatif dan atraktif. Kerjasama beliau dengan sinematografer Siu-Keung Cheng (Drug War, Fight Back To School) terasa kompak memadukan koreografi tarung dengan pergerakan kamera yang estetis. Pujian pun tidak lepas diberikan kepada editor Ka-Fai Cheung (Kungfu Jungle, Ip Man trilogy) yang memang sudah berpengalaman menangani penyuntingan film-film laga.


Di luar dari adegan laga yang apik sutradara Wilson Yip juga layak diapresiasi untuk kemampuannya menjaga ritme film dengan mengatur keseimbangan porsi drama dan laga dalam film. Plot jadi mengalir enak tanpa kendala yang berarti dan eskalasi emosi penonton meningkat secara baik hingga puncaknya di klimaks film terdengar tepuk tangan membahana di dalam studio bioskop.

Selain berbagai kelebihan ada juga beberapa kekurangan dalam film di antaranya suasana periode tahun 1960-an kurang terasa, baik itu dari bangunan gedung maupun pakaian yang digunakan. Kemudian karakter Yonah kurang terasa perkembangannya, soal pilihan antara cheerleader atau belajar Tai Chi, walaupun pada akhirnya menjadi masukan bagi Ip Man dalam mendidik Ip Ching. Satu lagi make up Ip Man sendiri terasa kurang tua, mengingat harusnya di tahun 1960-an harusnya beliau sudah berusia 67 tahun.

Dari sisi akting, Donnie Yen (Kungfu Jungle, SPL) tidak diragukan lagi kefasihannya dalam memerankan Ip Man. Aktor laga berusia 56 tahun ini masih tetap prima dalam melakonkan adegan laga sehingga tampak bisa dipercaya sebagai guru kungfu berusia lanjut. Pemeran sang legenda Bruce Lee muda, Kwok-Kwan Chan (Kungfu Hustle, Ip Man 3) juga memberikan kontribusi baik dan mampu mengemban beban berat melanjutkan perannya sebagai sang legenda. Aksi pertarungan yang ia lakoni sangat mencuri perhatian meskipun dengan screentime yang terbatas.


Yue Wu (Little Big Soldier, Kungfu Monster) sebagai Wan Zong Hua adalah aktor lain yang mampu mengkombinasikan kualitas akting dan laga dalam film ini. Perannya yang abu-abu berkat penulisan karakter yang baik menjadikan penampilannya tampak menonjol dalam film. Sementara itu Scott Adkins (Doctor Strange, Boyka) tampil beringas dan intimidatif dalam perannya segbagai antagonis satu dimensi yang rasis.

Penampilan aktor-aktor pendukung dalam film juga sangat membantu keseluruhan film seperti sang aktris pendatang baru berbakat Vanda Lee , si mantan member F4, Vanness Wu (serial Meteor Garden, Star Runner), si instruktur karate Chris Collins (Paradox, Wolf Warrior) sampai ke  Ye He pemeran Ip Ching dan aktor yang selalu ada di film Ip Man Kent Cheng (Bodyguard From Beijing, Crime Story).


Kesimpulan Akhir


Kisah pamungkas dari legenda beladiri Wing Chun, Ip Man, dihadirkan lewat film keempatnya yang berjudul Ip Man 4: The Finale yang meski memiliki formulasi sama dari tiga film sebelumnya tapi masih memiliki plot yang memikat, karakterisasi menarik serta adegan-adegan laga menawan yang layak diberikan tepuk tangan meriah. Sebuah film laga yang bagus untuk disaksikan menyambut libur akhir tahun sekaligus menutup tahun 2019 dengan kisah kepahlawanan yang menginspirasi dari seorang legenda bernama Ip Man.

My Rate: 4 out of 5 Stars

Ip Man 4: The Finale | 105 mins | Action, Martial Arts | Dir: Wilson Yip | Script: Tai-lee Chan, Lai-Yin Leung, Dana Fukazawa, Edmond Wong | Cast: Donnie Yen, Vanda Lee, Scott Adkins, Vanness Wu, Kent Cheng, Chris Collins, Kwok-Kwan Chan, Yue Wu

Komentar

Postingan populer dari blog ini

LONGLEGS (2024) – HOROR THRILLER DISTURBING BIKIN MERINDING SEBADAN-BADAN

THE EXORCISM (2024) – KISAH PENGUSIRAN SETAN YANG BERBEDA TAPI TAK KALAH NGERI

GITA CINTA DARI SMA (2023) – ADAPTASI PROGRESIF DARI ROMAN REMAJA TERHALANG RESTU