REVIEW FILM CRAWL (2019) - TEROR BUAYA GANAS DI TENGAH HUJAN BADAI
Bertindak sebagai produser dengan Raimi Pictures-nya, ia mengajak sutradara Alexandra Aja (High Tension, The Hills Have Eyes) untuk menyutradarai film bergenre horror thriller monster bercampur disaster dalam wujud buaya berjudul Crawl yang direncanakan rilis di Indonesia mulai tanggal 10 Juli 2019.
Sinopsis
Haley (Kaya Scodelario) berusaha mencari ayahnya Dave (Barry Pepper) yang menghilang dan sulit dihubungi di tengah badai topan kategori lima yang melanda negara bagian Florida. Meskipun sedang bertengkar dengan Dave, namun Haley tetap mencari Dave di rumahnya. Walau tidak menemukan Dave di sana Haley dapat mengevakuasi Sugar, anjing Dave. Haley pun berinisiatif untuk mencari ke rumah masa kecilnya yang tengah dipersengketakan Dave dengan ibu Haley, mantan istri Dave yang sudah menikah lagi.Pencarian keras Haley membuahkan hasil saat menemukan Dave yang pingsan dan terluka parah di basement rumah. Usaha Haley untuk menyelamatkan Dave pun terhalang saat seekor buaya besar berusaha menyerang Haley. Meskipun sukses menyelamatkan diri ke bagian basement yang aman, Haley dan Dave ternyata terkepung oleh beberapa buaya yang masuk dari saluran pembuangan air yang jebol akibat banjir. Haley dan Dave pun berusaha menyelamatkan diri di tengah kepungan buaya yang ganas dan badai besar serta ancaman banjir yang kian mengancam nyawa mereka.
Ulasan
Film creature-feature yang merupakan sub-genre dari film horror adalah salah satu genre yang cukup diminati oleh penonton. Berbeda dengan film-film monster dengan genre petualangan atau science fiction yang biasanya memiliki rating remaja. Kebanyakan film-film dengan genre creature-feature dengan pendekatan horror seperti Alien, Anaconda dan Lake Placid memakai rating dewasa yang mengeksploitasi unsur thriller dan gore penuh darah. Dan film Crawl ini benar-benar memaksimalkan kedua unsur rawan sensor tersebut, apalagi mencampurkannya dengan genre bencana alam seperti hujan badai dan banjir.Film berdurasi 87 menit dan ditulis oleh Shawn dan Michael Rasmussen ini memiliki intensitas ketegangan yang terjaga sejak kemunculan perdana para buaya di dalam layar. 15 menit pertama film yang dibuka dengan memperkenalkan latar belakang karakter Haley yang merupakan atlet renang peraih beasiswa kuliah yang sedang bergumul dengan masalah prestasinya yang menurun, hubungan buruknya dengan sang ayah dan usaha Haley mencari ayahnya. Film berjalan lambat oleh karenanya. Namun, tempo yang lambat di awal film dibayar tunai oleh sisa durasi yang penuh ketegangan di tengah usaha menyelamatkan diri dari kejaran para buaya.
Setting basement dan rumah yang menjadi lokasi terjebaknya Haley dan Dave terlihat sangat mendukung teror di dalam film. Suasana basement yang penuh lumpur dan lembab menambah perasaan tidak nyaman dan secara efektif memberikan efek yang sama kepada penonton. Penonton jadi merasakan situasi yang sama dengan karakter Haley dan Dave. Rasa tidak nyaman, gemas, cemas dan ngeri menjadi efek yang berpotensi dirasakan oleh para penonton.
Keberhasilan menciptakan rasa ngeri juga sukses dihasilkan oleh para tim spesial efek, baik itu efek praktis maupun efek CGI yang tampak halus di layar. Efek badai dan buaya-buaya terlihat flawless, efek daging terkoyak, anggota tubuh yang putus dan darah juga believable. Sebuah prestasi yang tidak mengherankan mengingat rekam jejak Alexandre Aja lewat film-film terdahulunya macam High Tension, The Hill Have Eyes dan juga Piranha 3D yang banyak unsur gore-nya. Kontribusi Raimi juga terasa signifikan melihat intensitas ketegangan di dalam film ini. Penonton beberapa kali dihajar teror saat Haley berusaha mencari jalan keluar, meminta tolong orang di luar rumah, sampai meminta tolong polisi. Kesemua adegan tersebut dirangkai tanpa melupakan jeda untuk memberikan kesempatan penonton mengambil nafas dan menenangkan diri.
Dari sisi akting, Kaya Scodelario (The Maze Runner, Pirates of The Carribean: Salazar's Revenge) memberikan penampilan yang baik. Agak sulit sebenarnya menjadikan karakternya disukai oleh karena karakter wajahnya yang terlihat muram, begitu juga dengan karakter Dave milik Barry Pepper (Saving Private Ryan) dengan karakter ayah yang merasa gagal dan keras. Akan tetapi faktor rasa penasaran bagaimana cara meloloskan diri dari kejaran buaya cukup memberikan keterikatan bagi penonton untuk mendukung kedua karakter tersebut. Belum lagi adanya Sugar, si anjing malang yang kehadirannya di dalam layar kerap membuat khawatir.
Selain kekurangan dari awal film yang terasa lamban dan karakter yang kurang likeable, tidak ada kekurangan yang berarti selain film yang formulaic dan tidak menawarkan hal baru selain mengobati kekangenan akan film-film sejenis macam Lake Placid, Anaconda, dll. Walau produksinya menggunakan pendekatan gaya film eksploitatif ala film B-Movie yang berbujet minim, namun film Crawl ini terasa megah dan terlihat mahal. Sebuah karya yang berkualitas dalam merayakan kembalinya Alexandra Aja dan Sam Raimi setelah lama namanya tidak muncul ke permukaan.
Final Verdict
Film Crawl menawarkan keseruan tanpa henti sejak menit ke-15 film dengan intensitas ketegangan yang terjaga sampai akhir film. Dengan premis sederhana tentang bagaimana menyelamatkan diri dari kepungan buaya di basement sebuah rumah yang terancam banjir, para pembuat film ini memberikan pengalaman sinema yang dijamin akan membuat penonton berteriak, merasa gemas sampai mengumpat-ngumpat di dalam bioskop. Rasakan dan nikmati sensasi dikejar-kejar buaya ganas dalam film Crawl.My Rate: 4 out of 5 Stars
Crawl (2019) | 87 min | Dir: Alexandre Aja | Script: Michael Rasmussen, Shawn Rasmussen| Cast: Kaya Scodelario, Barry Pepper, Morfydd Clark, Ross Anderson | Raimi Pictures, Paramount Pictures
Komentar
Posting Komentar