REVIEW THE INVISIBLE MAN (2020) – HOROR THRILLER YANG MENEGANGKAN DAN MEMUASKAN


Karakter The Invisible Man atau manusia yang tak terlihat sebenarnya bukan karakter baru karena sudah diangkat di layar lebar pertama kali sejak tahun 1933 dalam film berjudul sama. Bahkan di tahun 2003, karakternya pernah masuk dalam jajaran para pahlawan dalam film adaptasi komik The League of Extraordinary Gentleman. Karakter manusia yang tak terlihat ini pun sempat direncanakan tergabung dalam Dark Universe bersama karakter Mummy dan Dracula, namun sayangnya gagal di pertengahan eksekusinya.

Kini dengan fokus di genre horor thriller dan misteri, serta diproduksi oleh rumah produksi spesialis horor berbujet minim dengan kualitas oke, Blumhouse Productions, film The Invisible Man versi kekinian yang disutradarai oleh Leigh Whannel (Insidious 3, Upgrade) akan tayang di seluruh bioskop Indonesia mulai tanggal 26 Februari 2020.

Sinopsis

Kehidupan Cecilia Kass (Elisabeth Moss) yang penuh penderitaan dan mengalami kekerasan saat hidup bersama Adrian Griffin (Olivier Jackson-Cohan) berakhir saat Cecilia berhasil kabur dengan bantuan adiknya, Emily (Harriet Dyer) di rumah dengan penjagaan maksimum. Setelah beberapa bulan mengungsi dan berusaha menyembuhkan trauma di rumah sahabatnya James (Aldis Hodge), seorang polisi yang hidup bersama anaknya Sydney (Storm Reid), tiba-tiba terdapat sebuah kabar bahwa Adrian mati bunuh diri dan meninggalkan warisan untuk Cecilia.

Kabar tersebut membuat trauma Cecilia berangsur membaik, namun saat ia berusaha menata kembali hidupnya mendadak ada sebuah keanehan saat muncul teror dari sesuatu yang tak terlihat dan mulai merusak kehidupannya. Cecilia meyakini bahwa ini adalah ulah Adrian, ia pun berusaha mencari bantuan, namun tidak ada yang percaya dengannya dan malah menganggapnya delusional. Satu per satu kejadian aneh pun dialami sampai berujung pada pembunuhan. Apakah benar Adrian yang meneror Cecilia? Atau Cecilia sendiri yang delusional akibat dari traumanya? Jawabannya terjawab di akhir film yang mengejutkan.

Ulasan

Jika Anda belum mengenal nama Leigh Whannel maka sudah selayaknya Anda menandai sang filmmaker yang berbakat menjadi penulis naskah, sutradara sekaligus aktor ini. Angkat nama saat menulis film thriller-gore Saw bersama sutradara James Wan (Aquaman, The Conjuring), yang kini menjadi sutradara besar Hollywood, Whannel makin menancapkan kukunya pada genre horor yang sepertinya menjadi wilayah favoritnya.

Kembali bekerjasama dengan produser Jason Blum (Get Out, Whiplash) dari Blumhouse Productions yang dikenal selalu memproduksi film yang mayoritas berkualitas, dengan bujet minim dan hasil luar biasa menguntungkan, setelah film bergenre action thriller, Upgrade yang juga berasal dari buah pikiran Whannel. The Invisible Man yang merupakan adaptasi dari film klasik dibuat oleh Whannel dengan pendekatan horor yang lebih kental, lebih segar dan lebih terasa kekinian.

Hasilnya adalah sebuah film horor yang tidak hanya menegangkan dari awal hingga akhir, tapi juga pandai menyimpan misteri dan pertanyaan-pertanyaan dengan konklusi yang dijamin memuaskan bagi para penggemar film horor dan misteri. Whannel dengan pandainya menyisipkan masalah sosial yang tengah hangat berkaitan dengan abusive relationship, mental illness dan woman empowerment dalam film berdurasi 124 menit ini.


Kengerian yang disebar sepanjang film memang cukup merata, dari mulai merasakan bagaimana mengerikannya Cecilia berusaha lepas dari Adrian, bagaimana menghadapi traumanya, lalu bagaimana menghadapi teror yang tak terlihat, sampai-sampai membuat Cecilia stres karena tidak ada yang percaya dan semua orang menganggapnya gila. Penonton dibuat mengikuti perjalanan Cecilia dan merasakan apa yang ia alami, sehingga perasaan gemas saat tidak ada yang percaya padanya turut dirasakan oleh penonton.

Efeknya adalah penonton sengat memiliki empati yang mendalam pada sosok Cecilia, sehingga penonton berharap yang terbaik padanya, kemudian siap memberikan pembenaran dan pembelaan pada segala tindak-tanduk Cecilia demi membalaskan dendam terhadap teror yang ia alami.

Kualitas naskah The Invisible Man yang ditulis seluruhnya oleh Leigh Whannel (Insidious 2, Cooties) sendiri terasa menegangkan sejak awal durasi. Meskipun sedikit mengendor saat membahas sisi traumatik Cecilia, tapi itu tidak berlangsung lama sampai akhirnya teror dimulai. Adegan kucing-kucingan juga dirangkai sedemikian rupa sehingga film memiliki adegan-adegan jumpscare yang efektif membuat kaget, padahal ini bukan film horor hantu-hantuan. Whannel makin menunjukkan kepiawaiannya menulis film horor.


Elisabeth Moss (serial Handmaid’s Tale, The Kitchen) memberikan penampilan terbaiknya sebagai Cecilia yang tampil di layar dalam keseluruhan durasi film. Kemampuannya menampilkan karakter kompleks korban KDRT yang mencoba menyembuhkan traumanya lalu berusaha menghadapi teror sendirian ini merupakan peran yang berat dan dimainkan dengan sempurna oleh Moss.

Oliver Jackson-Cohen (Faster, Going The Distance) sebagai karakter antagonis dan misterius juga mampu memberikan kesan tersendiri dalam durasi penampilan yang tidak banyak. Juga Aldis Hodge (Hidden Figures, Straight Outta Compton) sebagai sahabat yang kesulitan untuk memahami teror yang dialami oleh Cecilia.

Storm Reid (A Wrinkle In Time), Harriet Dyer (The Way We Weren’t), Michael Dorman (Triangle, Daybreakers) juga memberikan bakat akting yang baik dan mendukung keseluruhan film. Barisan cast tersebut membuat film makin kuat meskipun memakai aktor dan aktris yang belum memiliki nama besar di industri Hollywood, kecuali Moss.



Secara teknis film memang terkesan tidak memakai teknik bermacam-macam, namun kehandalana Whannel dalam mengarahkan film patut diacungi jempol. Beberapa hal yang patut diberikan kredit adalah pergerakan kamera. Sinematografer, Stefan Duscio (Jungle, Backtrack) yang juga pernah bekerjasama dengan Whannel dalam film Upgrade memakai teknik pergerakan kamera yang tepat dalam film yang mengedepankan teror dari sosok yang tak terlihat.

Gerakan kamera panning ke kiri dan kanan yang menyorot sebuah ruangan sebagai representasi pandangan mata Cecilia, gerakan kamera berputar menunjukkan tingkat stres, serta teknik action khas yang Duscio juga pakai dalam film Upgrade semua terasa kawin dengan tema cerita film ini. Sensitivitas dan kerjasama apik ditorehkan tim penata kamera dalam film ini.

Tata suara dan musik juga menjadi keunggulan film ini, beberapa kali di adegan menegangkan musik meningkat dengan horns section menggema yang menambah mood adegan jadi meningkat tinggi. Make up juga memberikan andil yang tidak kalah pentingnya dalam menampilkan wajah Cecilia yang lelah, stres, depresif, seakan menunjukkan dirinya sebagai pribadi yang penuh masalah berat. Bersama tim artistik dan desain produksi, editing, tata busana serta tim produksi lainnya, film The Invisible Man menjadi  film yang tidak hanya kuat dalam penceritaan tetapi juga memiliki kualitas teknis produksi yang apik.


Berbagai keunggulan dari pengarahan yang baik, kualitas naskah baik dan teknis produksi apik memang membuat film The Invisible Man menjelma menjadi film berkualitas dengan potensi hasil box office yang tinggi, mengingat bujet film hanya 7 juta dollar. Meskipun secara penceritaan mengendor di babak kedua dan konklusinya berpotensi membuat pendapat penonton terbelah.

Kesimpulan Akhir

The Invisible Man adalah film horor thriller misteri yang memiliki kualitas penceritaan yang baik dengan sisipan isu sosial yang hangat berkaitan dengan abusive relationship, mental illness serta woman empowerment. Sebuah kerjasama yang baik dari penulis/sutradara Leigh Whannel dengan rumah produksi Blumhouse Productions yang diharapkan akan membangkitkan kejayaan monster universe milik Universal Pictures ke depannya.

My Rate: 4 out of 5 Stars

The Invisible Man | 124 mins | Script & Dir: Leigh Whannel | Cast: Elisabeth Moss, Aldis Hodge, Oliver Jackson-Cohen, Michael Dorman, Storm Reid, Harriet Dyer | Genre: Horror, Thriller, Mystery | Blumhouse Productions

Komentar

Postingan populer dari blog ini

LONGLEGS (2024) – HOROR THRILLER DISTURBING BIKIN MERINDING SEBADAN-BADAN

THE EXORCISM (2024) – KISAH PENGUSIRAN SETAN YANG BERBEDA TAPI TAK KALAH NGERI

GITA CINTA DARI SMA (2023) – ADAPTASI PROGRESIF DARI ROMAN REMAJA TERHALANG RESTU