REVIEW RAMBO: LAST BLOOD (2019) - PERTARUNGAN AKHIR SANG JAGOAN IKONIK YANG PENUH DRAMA
Film kelima dari yang menandai 37 tahun lahirnya karakter John Rambo rekaan David Morell ini akan tayang di bioskop Indonesia mulai tanggal 18 September 2019.
Sinopsis
11 tahun setelah peristiwa di Myanmar dalam film Rambo IV, John Rambo (Sylvester Stallone) masih diliputi rasa bersalah dan mengalami sindrom PTSD (Post-Traumatic Stress Disorder) yang timbul akibat masa lalunya melewati kekalahan di perang Vietnam, kegagalannya menyelamatkan rekan-rekan tentara tawanan perang Vietnam dan Afghanistan serta perjuangan kerasnya melindungi para misionaris di Myanmar.
Kini, tinggal di peternakan peninggalan orang tuanya, Rambo hidup bersama orang dekat keluarga yang sejak lama merawat rumah peternakannya Maria Beltran (Adriana Barraza) beserta keponakan Maria, Gabrielle (Yvette Monreal) yang sudah dianggap sebagai anak sendiri oleh Rambo. Sebuah keputusan untuk menemui ayah kandung yang telah menelantarkannya, Gabrielle nekat mengunjungi Meksiko dan menentang larangan Rambo dan Maria.
Kekhawatiran Rambo pun menjadi kenyataan manakala Gabrielle tidak pulang dan terindikasi diculik oleh sindikat perdagangan wanita di Meksiko. Rambo pun menyusul Gabrielle ke Meksiko dan mencoba menyelamatkan Gabrielle dengan bantuan Carmen (Paz Vega), jurnalis yang memiliki urusan personal dan sudah sejak lama menyelidiki kiprah Martinez bersaudara (Sergio Peris-Mencheta dan Oscar Jaenada), dua bersaudara pimpinan sindikat yang bengis dan kejam. Perjuangan Rambo menyelamatkan Gabrielle pun dimulai, perjuangan sampai titik darah penghabisan.
Ulasan
Hidup dengan menonton film-film franchise Rambo merupakan sebuah sejarah tersendiri bagi penulis yang dengan mata kepala sendiri menyaksikan kejayaan karakter tangguh nan tidak pernah kalah ini di layar lebar. John Rambo bahkan menjadi simbol kedigdayaan Amerika Serikat sebagai negara adidaya dan Hollywood sebagai pusat industri film nomer satu di dunia.
Sylvester Stallone yang sebelum bermain dalam First Blood (1982) dikenal dengan karakter petinju Rocky sukses mempopulerkan karakter Rambo sampai dikenal di seantero penjuru dunia, terutama di periode 1980 sampai 1990-an. Tantangan muncul saat film Rambo IV di rilis sebelas tahun lalu kesulitan untuk mendapatkan simpati penonton.
Dengan mengubah gaya film yang murni perang di film-film sebelumnya ke arah anti-perang dan gore yang disesuaikan dengan era tahun 2000-an, film Rambo IV tidak meraih hasil yang menggembirakan dengan hanya meraih $113 juta dari bujet $50 juta yang digelontorkan. Faktor rating dewasa, pudarnya nama besar Rambo dan minimnya bujet marketing yang dikeluarkan oleh rumah produksi sekaligue distributor film, Lionsgate, diindikasikan menjadi penyebab utamanya.
Kini di film terbarunya, Rambo: Last Blood diharapkan meraih hasil box office lebih baik dengan memadukan unsur drama keluarga yang kerap menjadi formula sukses film-film penghasil laba dalam dekade 2010-an ini. Penambahan karakter Maria dan Gabrielle adalah buktinya. Naskah tulisan duo Matthew Cirulnik (Serial South Beach dan Absentia) dan Sylvester Stallone (Rocky) sendiri ini membuka film dengan menggambarkan kedekatan hubungan Rambo dengan Maria dan Gabrielle.
Durasi hampir satu jam film dihabiskan dengan banyak menceritakan tentang latar belakang hubungan mereka, kedekatan Rambo dengan Gabrielle sejak kecil, masa lalu orang tua Gabrielle yang kelam serta sisipan soal kondisi Rambo yang masih mengalami mimpi dan ingatan-ingatan buruk saat kondisi perang dulu. Perkenalan pada kondisi rumah peternakan yang luas pun tidak lupa disertakan, plus bunker gua bawah tanah yang dibuat Rambo yang sepertinya menjadi faktor penenang Rambo dalam menghadapi pengalaman traumatisnya.
Sejam awal film yang didominasi drama keluarga dan sedikit selipan suspense tersebut memang efektif memberikan dasar pondasi yang kuat dan menanamkan motivasi mendalam bagi karakter Rambo saat melancarkan aksinya di klimaks film, hanya saja efisiensinya tidak terasa akibat tempo film yang berjalan lambat, apalagi karakter Rambo yang cenderung muram sedikit banyak mempengaruhi mood film, sangat disayangkan memang, tempo yang lambat dengan aura gloomy membuat film jadi berpotensi membosankan bagi penonton yang mengharapkan aksi Rambo sejak babak pertama film.
Ya, melihat judul Rambo pada film, agaknya otomatis membuat mindset penonton kebanyakan akan berharap banyak pada adegan aksi, dan tentu saja di film ini ada adegan aksi. Namun sayangnya adegan baku hantam, tembakan dan ledakan tersebut tidak terbagi merata di dalam tiap babak film. Meskipun film ini mencoba mengelabui dengan membuat penonton menerka bahwa arah film akan bergerak ke arah film aksi penculikan Taken (2008) yang memiliki formula senada, namun ternyata bergerak ke arah lain, yang sayangnya tidak lebih seru dari film Taken.
Walaupun begitu, 20 menit terakhir film yang menunjukkan aksi Rambo benar-benar dieksekusi secara maksimal oleh para pembuat film. Dibuka dengan adegan montages persiapan sampai ke eksekusi brutal di klimaksnya, kesabaran penonton seakan dibayar tunai dengan ledakan, cipratan darah, mutilasi tubuh dan tusukan-tusukan benda tajam. Sayangnya 20 menit terasa kurang lama untuk membayar tunai sejam awal film yang lambat.
Sutradara Adrian Grunberg yang angkat nama lewat film aksi Get The Gringo (2012) kelihatan kesulitan menjaga tempo film. Genre action, adventure dan thriller yang disematkan kurang cocok dengan dominasi drama keluarga yang kental dalam film ini. Secara teknis film juga tidak istimewa. Efek-efek spesial berkaitan teknik peperangan dengan metode gerilya dan segudang jebakan-jebakan baru muncul di 20 menit terakhir film dengan hasil yang sangat memuaskan. Ledakan-ledakan, orang tertusuk, terbakar, tertembak, terkena panah, tersabet golok divariasikan dalam babak akhir film yang mengingatkan pada gaya-gaya yang menjadi ciri khas film Rambo.
Sisi akting, Sylvester Stallone yang sebelumnya banyak meraih pujian dalam dua film spin-off Rocky berjudul Creed dan Creed II, terasa kelelahan menyandang nama besar Rambo. Usianya yang menginjak 73 tahun tampak jelas di raut wajah, keriput kulit dan ekspresi yang makin terlihat letih menghadapi hidup. Namun demikian semangatnya untuk menghidupkan karakter Rambo masih ada dan sanggup menampilkan aura Rambo di usia senjanya.
Aktris muda Yvette Monreal (Lowriders, serial Faking It) juga cukup memberikan akting baik dengan kebodohan karakternya dan kemalangan nasibnya. Pun begitu dengan Adriana Barraza (Babel, Drag Me To Hell) sebagai Maria yang terlihat peduli dengan Rambo dan Gabrielle. Paz Vega (Sex and Lucia) menjadi aktris yang patut disayangkan karena kehadirannya tidak terasa signifikan akibat screentime yang minim dan backstory yang hanya didialogkan saja tanpa flashback. Sementara itu dua pemeran antagonis Sergio Peris-Mencheta (Resident Evil: Afterlife, Life Itself) dan Oscar Jaenada (The Losers, The Shallows) terasa satu dimensi, hanya kejam dan bengis. Kurangnya kedalaman karakter membuat karakternya kurang menarik dan biasa saja.
Kesimpulan Akhir
Film Rambo: Last Blood memiliki sedikit ketidaksesuaian antara genre yang diusung dengan kentalnya dominasi drama keluarga di dalamnya. Memiliki set up latar belakang hubungan antar karakter dan pondasi motivasi serta pembukaan konflik yang panjang dalam babak kesatu dan kedua filmnya, ditambah dengan tempo yang lambat dan minimnya adegan aksi di sela-selanya, film berdurasi 89 menit seakan kurang Rambo di antara film-film Rambo lainnya. Tak ayal lagi, penonton berpotensi merasa bosan sebelum mencapai klimaks film yang gila, brutal dan memuaskan dahaga pecinta aksi perang dan gore. Siapkan ekspektasi anda sebelum menonton film Rambo: Last Blood yang menampilkan Rambo di usia senjanya.
Rambo: Last Blood | 89 Mins | Dir: Adrian Grunberg | Writers: Matthew Cirulnik, Sylvester Stallone | Cast: Sylvester Stallone, Yvette Monreal, Paz Vega, Adriana Barraza, Sergio Peris-Mencheta, Oscar Jaenada | Genre: Drama, Action, Thriller | Lionsgate Pictures
Komentar
Posting Komentar