THE CROW (2024) – DENDAM BRUTAL SANG SUPERHERO BERGAYA INDUSTRIAL
Sejak komiknya yang direka oleh James O’Barr rilis di tahun 1989, The Crow menjadi properti hangat di industri sinema. Sebuah film yang dirilis 1994 karya Alex Proyas (Dark City, I, Robot) dengan judul sama terhitung sebagai sebuah film cult classic yang saat rilisnya terdistraksi berita duka yang menimpa pemeran utamanya, Brandon Lee yang tewas di lokasi syuting akibat kesalahan fatal pistol properti yang masih meninggalkan ujung peluru di dalam sebuah adegan.
Setelah beberapa tahun rencana reboot,
termasuk yang melibatkan Jason Momoa, akhirnya Bill Skarsgaard
didapuk sebagai Eric Draven anyar baru di versi modern The Crow
yang ditangani sutradara Rupert Sanders. Dibintangi juga oleh FKA
Twigs, Sami Bouajila dan Danny Huston, The Crow segera
tayang di bioskop Indonesia.
Sinopsis
Kehidupan kelam dan berbahaya dialami
Shelly (FKA Twigs) manakala sebuah video yang melibatkannya membuat dirinya dan
teman-temannya diburu sebuah organisasi kriminal keji pimpinan Vincent Roeg (Danny
Huston) yang mempunyai kekuatan super mempengaruhi pikiran orang.
Di pusat rehab yang Shelly
jadikan tempat persembunyian, ia bertemu Eric Draven (Bill Skarsgaard) pemuda
yang sedang merehabilitasi kecanduannya pada obat-obatan terlarang. Berdua
mereka melarikan diri dari kejaran Roeg dkk yang menyerbu pusat rehab. Di
tengah pelarian, mereka saling jatuh cinta, bahkan sampai diperbudak cinta. Hingga
suatu saat anak buah Roeg menemukan mereka dan membunuh keduanya. Tetapi cinta
yang murni membuat Eric tidak benar-benar mati. Di dunia transisi, ia bertemu
Kronos (Sami Bouajila) dan menjelma menjadi The Crow yang ditugaskan untuk
memberantas kejahatan dan membalaskan dendam, sekaligus berusaha menghidupkan
kembali Shelly, sang cinta abadi.
Ulasan
Sebuah resiko diambil para
pembuat film The Crow ini manakala sebuah produksi yang terus-menerus tertunda
ini akhirnya diproduksi dengan tim dan aktor berbeda dari yang direncanakan
pada awalnya. Apalagi jarak dengan film aslinya yang dirilis 1994 cukup jauh
(tanpa menyebutkan sekuel-sekuelnya yang memiliki level film Direct-To-Video).
Gelar sebagai film cult classic pun makin menambah berat beban yang disandang Rupert
Sanders (Snow White & The Huntsman) sebagai pemegang kendali
film.
Memiliki sosok leading man dalam
sosok Bill Skarsgaard juga cukup beresiko karena nama Bill belum sementereng
abangnya Alexander atau ayahnya Stellan Skarsgaard. Memang, Bill pernah main di
dwilogi film Box Office IT & IT 2, namun peran fenomenalnya sebagai sang
badut Pennywise tidak dikenali sama sekali karena make up tebal badutnya. Sementara
film Boy Kills World tidak terdengar gaungnya sama sekali. Nada sumbang
dan pesimis pun banyak mengelilingi film The Crow ini.
Ekspektasi pun kami turunkan dan
hasilnya, The Crow versi Gen-Z ini jadi kejutan berkat elemen
roman dan brutal yang di mix jadi satu di dalam film. Meskipun berat sebelah ke
arah roman, namun patut dipahami banyaknya momen cinta-cintaan Eric dan Shelly
dalam film diperlukan demi memberikan efek pada mental Eric saat sosok Shelly
dibunuh. Dendam kesumat Eric diperlukan dalam momen-momen brutal dan sadis Eric
membalas dendam dalam wujud The Crow.
Sebuah pilihan kreatif yang cukup beresiko, namun para penulis naskah yang dimotori Zach Baylin (King Richard, Gran Turismo) dan debutan William Josef Schneider cukup baik merangkai kisahnya. Meskipun kejahatan yang dilakukan komplotan Roeg terasa kurang di eksposisi dan kekuatan super Vincent Roeg tidak pernah terjelaskan namun kengerian yang ditampilkan dari para villain di film ini cukup memberikan ancaman yang tergambar di layar.
Roman yang ditampilkan dalam film
juga tidak norak meski dalam level ugal-ugalan. Memang beberapa adegan seksual terpaksa
disensor dengan blur demi menghindari potongan kasar, sehingga tidak mengganggu
jalannya cerita. Namun adegan tarung yang brutal penuh darah dan potongan tubuh
manusia tidak disensor, membuat penonton akan puas menikmati film dengan rating
17+ ini. Sanders bersama tim produksi sangat baik meracik adegan brutal di dalam
gedung opera.
Bill Skarsgaard (It,
Boy Kills World) tampil enerjik sepanjang film saat adegan tarung dan
tampil mellow saat beromantis ria dengan FKA Twigs yang sebelumnya
dikenal sebagai penyanyi ini. Twigs terbilang baik melakoni peran Shelly dalam
debut filmnya ini. Sementara itu Danny Huston (X-Men Origins: Wolverine,
21 Grams) di peran kesekian sebagai antagonis sama sekali tidak mengecewakan.
Sangat mengintimidasi di tiap adegan yang menampilkan sosok Vincent Roeg.
Dari sisi produksi tidak ada kritikan berarti selain color grading yang terlihat terlalu biru dan cerah untuk sebuah film The Crow. Memang gaya gothic seperti di film tahun 1994 lalu tidak menjadi referensi lagi, namun setidaknya sosok The Crow ada baiknya memiliki sedikit elemen kelam di tiap kemunculannya sebagai pembeda dengan dunia sebelum ia muncul.
Satu lagi adalah pujian yang
patut disematkan kepada penata musik dalam film ini. Keputusan mengubah elemen genre
rock & metal menjadi alternative rock dan industrial memang ada di tangan
sutradara atau produser. Tapi penata musik juga harus diberikan apresiasi atas pemilihan
dan penempatan lagu dalam film The Crow versi modern ini.
Keren-keren lagunya!
Kesimpulan Akhir
The Crow adalah
bukti sebuah film superhero bisa ditweak sedemikian rupa menjadi sajian segar. Elemen
romansanya yang kental, disertai kisah origins superhero serta elemen pertarungan
yang brutal, sadis dan penuh darah yang melibatkan sabetan pedang, letusan
pistol dan shotgun ini membuat The Crow menjadi film yang
menghibur dan bisa jadi mengobati kerinduan para penggemar The Crow alias Eric
Draven yang kini tak lagi gondrong.
The Crow segera tayang di bioskop Indonesia.
Komentar
Posting Komentar