BABYLON (2023) – GAMBARAN KACAU JEROAN HOLLYWOOD PENGHASIL MASTERPIECE
Menceritakan film Babylon karya sutradara Damien Chazelle peraih berbagai penghargaan lewat tiga film terdahulnya La La Land, Whiplash dan The First Man, sebenarnya terhitung mudah. Soal gegap gempita, riuh rendah dan kekacauan yang tak asing lagi di industri perfilman Hollywood di masa peralihan film bisu ke film bersuara di tahun 1920-an.
Dibintangi aktor-aktor besar
dalam sosok Brad Pitt, Margot Robbie,
Jean Smart, Lukas Haas, Tobey Maguire plus dua pendatang baru Diego Calva & Jovan Adepo, Babylon tayang
di bioskop mulai jumat, 3 Februari 2023.
Sinopsis
Pemuda keturunan Spanyol penuh
mimpi bekerja di industri film, Manny (Diego
Calva) diberi tugas aneh membawa gajah ke sebuah pesta orgy berkedok
perayaan ultah seorang produser film ternama. Di pesta itu, Manny bertemu
dengan Nellie LaRoy (Margot Robbie) aktris
muda dari wilayah udik New Jersey yang bermimpi jadi artis besar. Keduanya
mulai menapaki jalur meraih impian lewat pesta tersebut.
Di sisi lain pesta, ada Jack
Conrad (Brad Pitt), aktor papan atas
sedang menikmati hidup dengan pesta dan mabuk-mabukan, tanpa kehilangan
sentuhannya sebagai seorang aktor. Di panggung pemusik, ada juga Sydney Palmer (Jovan Adepo), pemain terompet kulit
hitam yang sangat berbakat dan menikmati hidupnya hanya sebagai musisi, namun
hingar-bingar ketenaran membuatnya tergoda untuk terjun ke dunia film.
Keempatnya jatuh bangun bertahan di Hollywood dengan segala kekacauan, keindahan,
kerja keras dan pesta pora tiada henti.
Ulasan
Babylon bukanlah film
terbaik yang disutradarai oleh Damien Chazelle, tapi jelas bukan film yang
jelek. Segala kekacauan yang nampak di layar memang seakan disengaja demi
menunjukkan ‘jeroan’ industri perfilman. Film ini menggambarkannya dengan gaya
lugas dan satir. Penggunaan empat karakter utama, pemuda latin yang ingin
berkarier di industri film, aktris muda dari kampung yang bermimpi jadi bintang
film, aktor berpengalaman yang ingin mempertahankan eksistensinya plus seorang
musisi kulit hitam yang terjebak di industri yang mengapresiasi bakatnya dengan
laten rasisme yang masih mengakar, membuat film ini kaya akan sudut pandang.
Naskah yang ditulis sendiri oleh
Chazelle memang kurang adil dalam membagi kisah, yaitu kisah Sidney Palmer sang
musisi mendapat porsi paling minim dan terasa tidak tuntas diceritakan.
Konklusinya yang menegaskan soal pilihannya terasa datar dan antiklimaks. Tidak
sejalan dengan permainan terompet jazz-nya yang atraktif dan keren. Sementara
pembagian tiga karakter utama lainnya terasa adil dengan konklusi yang
seimbang.
Chazelle dengan baik memilih
latar belakang waktu yang terasa tepat secara historis. Masa peralihan dari
film bisu ke film bersuara jadi latar waktu yang sangat menarik dan
rasa-rasanya belum pernah (atau jarang) diangkat ke dalam film. Sebuah momen
seru saat syuting film bersuara pertama kali menjadi momen paling menarik dalam
film.
Momen lain yang berkesan dalam film ini adalah montages syuting yang dilakoni oleh Jack dan Nellie, yang kebetulan juga melibatkan Manny dan Sidney. Momen seru saat syuting film Jack terkendala kamera rusak serta saat Nellie mempertunjukkan kemampuannya melakoni adegan tangis adalah dua adegan seru yang lebih seru dari awal film yang menampilkan adegan orgy berkedok pesta.
Ya, adegan awal film yang penuh
kekacauan dan terbilang sebagai money
shot memang luar biasa. Kolosal dengan melibatkan banyak extras plus
menggunakan seekor gajah hidup. Sekelebatan adegan-adegan intim yang graphic pun menambah keruwetan
adegannya. Bisa dikatakan sekuens awal film ini merupakan paduan dari adegan
ballrom di Moulin Rouge dengan pesta orgy di film Caligula. Epik, berantakan, convoluted, kacau sekacau-kacaunya.
Kerjasama departemen teknis
produksi layak diberikan acungan jempol dalam mengeksekusi berbagai sekuens di
film ini. Set design, kostum, make up, tata musik, tata cahaya dan
sinematografi bekerja dengan baik, bahkan nyaris sempurna memberikan yang
terbaik membuat film periode tahun 1920-an tampak berkilau dan glamor. Hanya
satu teknis yang kurang kami nikmati kinerjannya, yaitu departemen
penyuntingan. Beberapa kali transisi adegannya terasa kasar, kurang smooth.
Utamanya dalam beberapa adegan statis bertempo pelan.
Faktor penyensoran juga menjadi bagian yang mengganggu buat kami. Di mana beberapa adegan menampilkan organ vital menggunakan sensor blur dan beberapa adegan pemakaian narkoba menggunakan sensor zoom in.
Dari sisi akting, semua terasa
sempurna. Dengan dua bintang besar Margot
Robbie (Suicide Squad, I, Tonya) dan Brad Pitt (The Curious Case of Benjamin Button, Once Upon A Time in Hollywood) yang
bermain gemilang, serta Diego Calva (serial
Narcos: Mexico, The Inmate) yang
tampil meyakinkan sebagai pendatang baru yang mendapat kesempatan sebagai leading man di sebuah film besar.
Sisanya, aktor-aktor pengalaman dalam
sosok Jean Smart (Garden State, The Accountant), Jovan Adepo (Fences, Overlord), Lukas
Haas (Inception, The Revenant), Samara Weaving (Ready or Not, The Babysitter), Katherine Wasterston (Fantastic
Beast, Inherent Vice), Tobey Maguire (Spider-Man, Pleasantville) dan Jeff
Garlin (Safety Not Guaranteed, Bounty
Hunter) bermain baik dalam film berdurasi 3 jam lebih ini. Li Jun Li (Sex/Life) sebagai Lady Fay Zhou adalah favorit saya di antara ensembel aktor di film ini.
Anggun menawan dengan rahang kokoh dan garis wajah misterius, Lady Fay Zhou
juga jadi karakter favorit saya dalam film.
Kesimpulan Akhir
Damien Chazelle kembali menghasilkan film yang berkualitas di atas
rata-rata dengan surat cintanya pada industri perfilman, spesifik pada
Hollywood era 1920 dan 1930-an. Meski naskahnya terasa tidak imbang untuk satu
karakter dan menggambarkan kekacauan yang berlebihan demi sindiran pada industri,
Babylon
merupakan film bagus yang tidak boleh dilewatkan para penggemar film di
layar lebar.
Sosok Damien Chazelle, plus duet bintang besar dalam sosok Brad Pitt dan Margot Robbie juga bisa menjadi alasan kuat untuk menyaksikan Babylon yang tayang di bioskop Indonesia mulai tanggal 3 Februari 2023.
Komentar
Posting Komentar