REVIEW CINTA BETE (2021) – GETIR HIDUP WANITA SAAT ADAT MEMBATASI CINTA

Kehidupan percintaan Bete Kaebauk tidak pernah berjalan mulus, cinta pertamanya memilih menjadi pastor sementara pria pilihan berikutnya terhalang adat yang menjadi pedoman hidup masyarakat daerah Atambua, Nusa Tenggara Timur. Adat mahar perkawinan dengan istilah Belis ini memang kerap menjadi batu sandungan bagi pasangan yang hendak menikah, dan kali ini diceritakan dalam film Cinta Bete karya sinematografer kawakan Roy Lolang dalam film perdananya sebagai sutradara.

Dibintangi oleh Hana Malasan, Marthino Lio, Djenar Maesa Ayu, Otig Pakis dan Yoga Pratama, film Cinta Bete yang meraih 10 nominasi dalam ajang FFI 2021 ini akan rilis di bioskop mulai hari kamis 18 November 2021.

Sinopsis

Bete Kaebauk remaja (Daniella Jahzara Tumiwa), putri keluarga ningrat di Atambua menjalani masa remajanya dekat dengan Emilio (Adam Farell) yang bercita-cita menjadi pastor dan imam gereja. Tidak ada masa depan bagi hubungan cinta keduanya yang terpaksa harus diakhiri saat Emilio masuk seminari. Bertahun-tahun kemudian, Bete dewasa (Hana Malasan) sudah tidak lagi menunggu Emilio (Marthino Lio) mengubah pikirannya untuk tidak menjadi pastor.

Bete lalu berkenalan dan berpacaran dengan Elfredo (Yoga Pratama) yang serius ingin meminang Bete. Tapi apa daya, jumlah belis atau mahar yang tinggi untuk putri ningrat seperti Bete membuat cinta keduanya tidak direstui. Bete berpikir untuk tidak lagi mengalah untuk kedua kalinya, ia siap meninggalkan ayah (Otig Pakis) dan ibunya (Djenar Maesa Ayu) beserta keluarga dan adat yang memberatkan untuk bisa bersama dengan pria yang ia cinta. Tapi apakah Elfredo adalah pria yang tepat untuk dicintai? Siapkah Bete menerima segala konsekuensi pilihannya?

Ulasan

Berangkat dari ide sutradara Roy Lolang dan produser Leni Lolang yang terkagum-kagum dengan keindahan lanskap Atambua, film Cinta Bete diproduksi dengan naskah Titien Wattimena (Dilan, Ambu) bertandem dengan penulis naskah debutan, Lina Nurmarlina. Menyertakan beberapa bagian unsur budaya yang akrab di masyarakat Atambua, termasuk urusan belis atau mahar pernikahan yang meskipun dibahas secara singkat tetapi menjadi bagian krusial dalam film.

Dari menit pertama, film mengenalkan penonton pada sosok Bete Kaebauk remaja yang hidup di sebuah keluarga keturunan bangsawan yang hidup sederhana. Bete remaja resah melihat kehidupan orang tuanya yang relijius dan patuh adat, dengan ibu yang hamil tua tapi tetap melayani suami dan bekerja di ladang dan ayah sebagai kepala keluarga yang dominan dan abai pada urusan mendidik anak. Dalam sepengamatan Bete, hanya ibunya yang mengurus rumah tangga sehingga timbul tanya soal arti pernikahan dan keluarga dalam benak Bete.

Keresahan ini juga sampai ke benak penulis, mengapa seorang ayah didapuk menjadi kepala keluarga di dalam agama dan adat yang menganut patrilineal, padahal perempuan lebih berkontribusi banyak di dalam keluarga?


Film Cinta Bete berhasil memberikan gambaran itu sembari mengisahkan kisah cinta monyet antara Bete dengan Emilio, sahabatnya yang bercita-cita menjadi pastor atau imam gereja. Cita-cita yang sebenarnya ingin Bete protes, karena dengan menjadi pastor, berarti Emilio tidak bisa menikah, namun cita-cita mulia Emilio harus Bete terima dengan lapang dada.

Plot pun bergerak ke masa Bete dewasa dan berpacaran dengan Elfredo, pemuda jelata yang serius ingin meminang Bete. Dilematis bagi Bete, setelah terhalang aturan agama, kali ini cinta Bete terhalang aturan adat. Premis konflik dan kemalangan bertubi-tubi yang dialami Bete dieskalasikan dengan baik, hanya saja pengadeganannya berjalan melompat-lompat. Kedekatan Bete dan Elfredo kelewat singkat, sehingga kurang membuat penulis tergerak ikut membela hubungan keduanya.

Keputusan yang diambil Bete, konsekuensi yang harus ia hadapi dan ekses dari keputusan Bete pun digambarkan dengan sangat tergesa-gesa. Belum sempat merasakan emosi di satu konflik, sudah muncul konflik lain, lalu permasalahan lainnya. Untungnya setelah konflik memuncak di babak ketiga penyelesaiannya dituturkan dengan tempo pelan yang menenangkan saat karakter Emilio dewasa mengambil alih kendali cerita.

Sayangnya klimaks film yang meninggi tidak terbangun dengan baik, sekian lama tidak muncul mendadak sang karakter antagonis muncul, berbuat onar dan keonaran yang ia ciptakan pun tampak diselesaikan dengan simpel dan membuat penulis berucap dalam hati “kok begitu saja?”.

Dari sisi teknis film ini punya sinematografi yang apik disertai dengan tata artistik otentik. Kemampuan sang sutradara sekaligus penata kamera Roy Lolang (Ada Apa Dengan Cinta?, Laura & Marsha) dalam menangkap keindahan lanskap daerah Atambua dan rumah-rumah tradisional serta pergerakan kameranya mampu memberikan pengalaman seakan-akan penulis berada di sana.

Tata musik yang digarap Oscar Lolang pun mampu membangkitkan mood yang baik, termasuk sebuah lagu di akhir film. Sayangnya unsur alat musik tradisional terdengar agak minim dalam barisan komposisi musik di dalam film Cinta Bete ini. Tata artistik busana dan make up juga tidak kalah baiknya mendukung film yang seluruhnya syuting di Nusa Tenggara Timur ini.

Dari sisi akting, Hana Malasan yang angkat nama berkat serial Tunnel menjadi sosok vital dalam film. Muncul setelah sepertiga film berjalan, Hana mampu membawakan karakter Bete dewasa dengan gemilang. Eskalasi ketidaksukaan pada sosok patriarki di rumah, rasa kesalnya pada aturan adat yang menghalangi hubungannya dengan El, serta keikhlasan menerima keputusan Emilio menjadi beberapa emosi yang disalurkan dengan tepat sasaran oleh Hana. Puncaknya adalah sebuah momen krusial saat Bete tidak mampu lagi menerima konsekuensi dari keputusannya. Tidak heran Hana Malasan dianugerahi nominasi aktris terbaik dalam film ini.

Djenar Maesa Ayu (Mangkujiwo, Mereka Bilang Saya Monyet), Otig Pakis (Filosofi Kopi, Di Balik 98) Yoga Pratama (Marlina si Pembunuh Dalam Empat Babak) dan Marthino Lio (Sultan Agung, Seperti Rindu, Dendam Harus Dibayar Tuntas) jadi aktor-aktor pendukung yang baik bersama para pemain remaja pendatang baru, Daniella Jahzara Tumiwa dan Adam Farrell.

Kesimpulan

Cinta Bete sukses memberikan gambaran kehidupan percintaan Bete, perempuan dari Atambua yang hidup dalam hukum agama dan adat yang kuat. Meskipun plotnya tidak selalu mengalir dengan mulus, namun konflik dan emosi karakternya tersampaikan dengan baik, plus tata produksi apik yang nampaknya mampu membuat film Cinta Bete menjadi salah satu film sukses dengan meraih 10 nominasi dalam ajang Festival Film Indonesia (FFI) tahun 2021 ini

Cinta Bete | 90 mins | Dir: Roy Lolang | Script: Titien Wattimena, Lina Nurmalina | Cast: Hana Malasan, Djenar Maesa Ayu, Yoga Pratama, Marthino Lio, Otig Pakis, Daniella Jahzara Tumiwa, Adam Farrell, Jordhany Agonzaga | Prod: Inna Maleo Production

Komentar

Postingan populer dari blog ini

LONGLEGS (2024) – HOROR THRILLER DISTURBING BIKIN MERINDING SEBADAN-BADAN

THE EXORCISM (2024) – KISAH PENGUSIRAN SETAN YANG BERBEDA TAPI TAK KALAH NGERI

GITA CINTA DARI SMA (2023) – ADAPTASI PROGRESIF DARI ROMAN REMAJA TERHALANG RESTU