REVIEW FILM X-MEN: DARK PHOENIX (2019) - KISAH PAMUNGKAS PARA MUTAN JAGOAN



X-Men, franchise film superhero yang sudah berumur 20 tahun tiba di penghujung kisahnya lewat film terbaru mereka bertajuk Dark Phoenix. Melanjutkan kisah film terakhirnya X-Men: Apocalypse yang berlatar tahun 80-an, film Dark Phoenix yang ditulis dan disutradarai oleh Simon Kinberg ini menggunakan latar waktu tahun 1992. 

Diproduksi oleh 20th Century Fox bekerjasama dengan TSG Entertainment dan Marvel Studio, film yang dibintangi Sophie Turner, James McAvoy, Jennifer Lawrence, Michael Fassbender, Nicholas Hoult, Tye Sheridan, Alexandra Shipp, Evan Peters dan Jessica Chastain ini akan tayang secara reguler pada tanggal 14 Juni 2019 di seluruh jaringan bioskop di Indonesia.

Sinopsis

Beberapa tahun setelah peristiwa di X-Men: Apocalypse, para mutan muda sekolah mutan bimbingan Professor Charles Xavier (James McAvoy) sudah dikenal dunia sebagai mutan bergelar pahlawan yang kerap dimintai bantuan oleh pemerintah di setiap misi-misi yang membahayakan manusia. Kali ini tim X-Men muda ditugaskan untuk menyelamatkan awak pesawat ulang-alik yang mengalami kecelakaan di luar angkasa. 

Tim yang dipimpin oleh, Raven (Jennifer Lawrence) dan beranggotakan Jean (Sophie Turner), Scott (Tye Sheridan), Beast (Nicholas Hoult), Kurt (Kodi Smit-McPhee), Storm (Alexandra Shipp) dan Quicksilver (Evan Peters) pun berangkat menunaikan misi tersebut. Tanpa mereka sangka misi berbahaya tersebut menyebabkan Jean mengalami suatu musibah yang akan mengubah nasib mereka ke depannya.

Sepulang dari luar angkasa, Jean yang terlihat baik-baik saja merasakan sesuatu yang berbeda pada tubuhnya. Ia seperti dikuasai oleh suatu kekuatan yang tidak bisa ia kendalikan. Kekuatan tersebut berhasil mengorek masa lalunya saat diselamatkan dan diasuh oleh Profesor X. Sebuah rahasia masa lalu pun terkuak dan menimbulkan amarah pada diri Jean.

Efek dari amarah Jean tersebut pun memancing Magneto (Michael Fassbender) keluar dari sarangnya dan memburu Jean yang dalam kondisi hendak dimanfaatkan oleh Vuk (Jessica Chastain), tokoh misterius yang memiliki motivasi jahat terhadap kekuatan jahat di dalam tubuh Jean. Kekuatan jahat yang mengubah kekuatan Jean jadi lebih kuat dan makin tidak bisa dikendalikan. Kekuatan yang mengubah wujud Jean menjadi sosok Dark Phoenix yang mengancam nyawa para mutan dan manusia di dunia.

Ulasan

Diserang bertubi-tubi oleh para netizen dan pemerhati film di sosial media akibat produksi yang mengalami masalah sejak pra produksi, sampai ke penetapan tanggal tayang yang kerap mengalami kemunduran jadwal beberapa kali tidak membuat studio 20th Century Fox gentar. Film yang menjadi penutup rangkaian film X-Men, yang menurut saya tidak konsisten kontinuitasnya ini digadang-gadang akan menjadi film pamungkas dengan klimaks yang hebat dalam materi promosinya.

Hasilnya? Film ini tidak seburuk berbagai macam review yang mengatakan film sampah, the worst, tidak layak tonton, dan lain-lain. Memang film ini memiliki beban yang sangat berat karena merupakan film superhero yang rilis seusai hegemoni Avengers: Endgame. Kebetulan keduanya memiliki gelar film pamungkas dari masing-masing saga Avengers dan saga X-Men. Tidak heran jadinya perbandingan antara kedua film banyak muncul di pelbagai review film Dark Phoenix ini.

Dari kacamata saya, film ini memiliki naskah yang sederhana dan cenderung standar. Guliran plotnya memang mengalir mulus, hanya saja eksekusinya terasa datar di momen-momen emosionalnya. Beberapa adegan flashback dan uraian latar belakang karakter tidak banyak membantu saya menyelami kedalaman emosi dan pertentangan konflik para karakternya. Satu momen yang harusnya dramatis dan emosional di pertengahan film pun terasa hampa. 

Sungguh disayangkan memang, padahal film dibuka dengan baik dengan adegan flashback Jean mulai diasuh Profesor X sampai ke misi Tim X-Men ke luar angkasa. Selepas itu film berjalan datar tanpa emosi, padahal konfliknya terbilang berat dan berpotensi dramatis karena melibatkan keluarga. Kehadiran Magneto di tengah film pun tidak banyak membantu. Film makin terasa menggelikan akibat pengarahan semenjana dan penulisan naskah yang gampang ditebak.

Beruntung di babak ketiga film semua mulai membaik, kendati adegan tarung di sebuah rumah di New York terlihat seperti di dalam studio, tapi adegan aksi tarung dan unjuk kekuatan super para mutan sangat memikat. Momen Magneto mencoba melepaskan diri dari kejaran Profesor X dan Tim X-Men demi memburu Jean sangat seru. Puncaknya terasa di adegan dalam kereta untuk mengevakuasi Jean dan para mutan ke penjara. Serbuan Vuk dan anak buahnya dalam merebut Jean makin terasa masif. Momen-momen aksi luar biasa pun terlihat keren dan terasa mengasyikkan di sini.

Simon Kinberg, sang sutradara yang baru pertama kali menyutradarai sekaligus menulis naskah film terlihat lihai menyutradarai adegan aksi superhero, sementara dalam mengarahkan adegan drama ia tidak terlihat menguasai grafik tensi emosi. Bekal menulis beberapa naskah film X-Men lain ternyata tidak terlihat. Film terasa standar dalam menggulirkan cerita dan datar saat menampilkan dramatisasi, membuat saya tidak sabaran untuk segera menyudahi adegan drama untuk segera melihat adegan aksi lain dalam film berdurasi 113 menit ini. 

Sisi teknis produksi memiliki kekurangan dalam desain produksi dan tata artistik. Set film terasa artificial di beberapa bagian, utamanya di perumahan masa kecil Jean dan rumah milik Vuk di New York. Sinematografi arahan Mauro Fiore (Avatar, The Island) terlihat tidak bisa menggunakan beauty dan landscape shot untuk adegan di kedua tempat tersebut yang mengakibatkan film terasa kurang megah bagi saya.

Di luar itu film tidak memiliki kekurangan berarti dari sisi teknis. Kredit lebih patut diberikan kepada tim koreografi laga dan visual effects yang apik, serta tata musik megah dan terkesan kolosal hasil karya komposer berpengalaman, Hans Zimmer (Gladiator, Inception, Dunkirk). Ketiga departemen tersebut dapat disandingkan dengan departemen akting yang fenomenal.

Para aktor dalam film ini memang bukan aktor kacangan, kualitas akting mereka tidak diragukan lagi. Sophie Turner (Game of Thrones) tampil gemilang bersama James McAvoy (Split, Wanted), keduanya memiliki jatah menit tampil terbanyak dan berhasil menghidupkan peran masing-masing. Didukung oleh penampilan apik dari Michael Fassbender (Hunger, Shame), Tye Sheridan (Ready Player One), Nicholas Hoult (Warm Bodies, Tolkien) dan Jennifer Lawrence (Silver Lining Playbook, The Hunger Games). Hanya Jessica Chastain (The Help, Molly's Game) yang terasa kurang mengesankan, tapi saya rasa akibat karakterisasi dingin sehingga tidak terlihat peribahan guratan emosi yang signifikan di wajah dan gesturnya.

Kesimpulan Akhir

Setelah dibombardir berbagai isu negatif sebelum tayang dan kritik buruk sesudah tayang membuat ekspektasi saya turunkan sebelum menonton film ini. Promosi yang menggadang-gadang film ini sebagai pamungkas franchise film superhero berusia 20 tahun yang megah dan akbar memang tidak terpenuhi, akan tetapi film jauh dari kata buruk. Di luar kekurangan dari sisi naskah dan eksekusi yang terkesan mengabaikan dramatisasi, penajaman motivasi karakter dan kisah latar belakang karakter, film masih memiliki kualitas akting hebat dan adegan-adegan laga yang menghibur.

Bukan film superhero terbaik tahun ini, tetapi setidaknya masih layak diberikan apresiasi dalam usahanya menutup saga X-Men milik Fox ini. Kini saatnya menyambut para mutan ke dalam naungan Disney dan menyandingkannya dengan Avengers beberapa tahun yang akan datang!

My Rate: 3,5 dari 5 bintang

X-Men: Dark Phoenix | 113 Minutes | Dir/Script: Simon Kinberg | Cast: Sophie Turner, James McAvoy, Michael Fassbender, Jennifer Lawrence, Jessica Chastain, Nicholas Hoult, Tye Sheridan, Alexandra Shipp, Kodi Smit-McPhee, Evan Peters | Genre: Superhero | Studio: 20th Century Fox

Komentar

Postingan populer dari blog ini

GITA CINTA DARI SMA (2023) – ADAPTASI PROGRESIF DARI ROMAN REMAJA TERHALANG RESTU

JOY RIDE (2023) – PETUALANGAN SERU, KOCAK & LIAR 4 CEWEK ASIA

COBWEB (2023) - HOROR KLASIK ATMOSFERIK BIKIN BERGIDIK