REVIEW CANDYMAN (2021) – BANGKITNYA SANG CANDYMAN YANG MISTERIUS DAN KEJAM

Karakter Candyman adalah salah satu dari beberapa karakter dalam film horor di Hollywood yang dibuatkan franchisenya hingga beberapa judul film. Kemunculan pertamanya lewat film Candyman di tahun 1992 membuat aktor Tony Todd selalu diingat sebagai pemeran pembunuh bersenjatakan pengait sebagai pengganti tangan kanannya ini.

Kini dengan mengabaikan film-film sekuel setelahnya dan diarahkan sutradara muda berbakat, Nia DaCosta dan dibintangi oleh Yahya Abdul-Mateen II, Sang pembunuh akan kembali meneror dalam film berjudul sama Candyman yang berfungsi sebagai sekuel sekaligus menceritakan ulang mitologi dan urban legend-nya kepada para penonton generasi muda. Candyman tayang di bioskop Indonesia mulai tanggal 27 Oktober 2021

Sinopsis

Di Cabrini-Green, sebuah wilayah gettho di masa lalu yang kini mulai maju terdapat sebuah legenda masa lalu akan hadirnya sosok Candyman, penculik dan pembunuh yang memancing korbannya dengan permen. Sosok Sherman Fields (Michael Hargrove) yang dicurigai sebagai pelaku pun ditangkap dan terbunuh dalam operasi penangkapan polisi yang terkesan semena-mena.

Puluhan tahun kemudian, seorang seniman Anthony (Yahya Abdul-Mateen II) menjadikan kisah opresi pada Sherman sebagai inspirasi karya seni barunya. Hasil wawancara dengan saksi penangkapan Sherman, William Burke (Colman Domingo), pun menambah referensi, sekaligus mengenalkan Anthony pada legenda urban Candyman, dimana “Jika kau menyebut nama Candyman sebanyak lima kali di depan cermin, Candyman akan muncul dari cermin dan membunuhmu”.

Karya seni Anthony pun dipamerkan dan kejadian aneh, termasuk pembunuhan mulai terjadi menimpa orang-orang di sekitar Tony.

Ulasan

Usaha Hollywood dalam mendaur-ulang film-film legendarisnya memang sudah dalam tahap bagai pedang bermata dua, berpotensi menguntungkan namun juga kerap dicap minim kreativitas, tergantung dari sudut mana penonton melihatnya. Dari segi bisnis praktek semacam ini sangat penting dilakukan demi menjaga perekonomian masing-masing rumah produksi. Tanpa adanya film-film blockbuster, remake atau reboot peraih laba, sulit rasanya menyuntikkan dana untuk film-film dengan naskah asli dan orisinil.

Candyman sendiri sebenarnya berada di tengah-tengah. Film ini nampaknya hanya berusaha menyegarkan ingatan penggemar Candyman lawas sekaligus mengenalkan karakter tersebut pada penonton generasi baru yang belum mengenal sang pembunuh. Naskah yang ditulis Jordan Peele (Get Out, Us), Win Rosenfeld (serial The Twilight Zone) dan Nia DaCosta (Little Woods, Ghost Tape) sendiri juga lebih mengentalkan isu kehidupan masyarakat kulit hitam di Amerika dan menyelipkan bumbu politik rasialisme dan BLM movement ke dalam film yang didasarkan dari buah tulisan tangan novelis horor legendaris, Clive Barker.

Nama Jordan Peele sebagai penulis naskah dan produser layaknya berperan besar sehingga Candyman dapat diproduksi. Kesuksesan Peele dalam film Get Out dan Us yang ia sutradarai adalah faktor utama studio mempercayai proyek ini. Padahal nama sutradara Nia DaCosta adalah nama baru yang masih terbilang hijau di Hollywood. Berkat kehandalannya DaCosta kini juga didapuk menjadi sutradara film kedua Captain Marvel yang akan rilis 2023 nanti bertajuk The Marvels.


Skill Nia DaCosta sebagai sutradara memang ia tampilkan di Candyman. Beberapa sekuens wayang atau shadow puppet yang secara khusus disyut oleh sinematografer Andrew J . Morgan serta beberapa komposisi gambar dan angle kamera menunjukkan betapa jagonya mata seorang Nia DaCosta dalam mempresentasikan adegan-adegan yang sinematik. Beberapa kali bahkan gambar yang diambil oleh sinematografer John Guleserian (Love, Simon, Happiest Season, About Time) mampu menyita perhatian dari plot cerita yang bergulir.

Plotnya sendiri yang berfokus pada misteri mitologi legenda urban Candyman sebagai materi riset karya seni Anthony sebenarnya memiliki jalinan misteri yang mampu merangsang rasa penasaran. Apalagi saat beberapa kasus pembunuhan yang melibatkan sang Candyman yang memburu orang-orang yang melihat karya seni Anthony. Film ini bukan mempertanyakan sosok pembunuh, melainkan apa motif, mengapa dia membunuh dan kutukan apa yang menjadikan sosok Candyman melegenda dari dulu hingga sekarang.

Para penulis naskah dan sutradara Nia DaCosta sukses mengalirkan cerita hingga ke klimaksnya. Sayangnya di ujung film mereka terlihat kebingungan dalam memberikan statement apa yang hendak diceritakan. Jawaban-jawaban dari pertanyaan di paragraf di atas tidak terjawab secara penuh dan malah memberikan pertanyaan tambahan saat sosok cameo dari film Candyman lawas muncul. Untungnya adegan akhir film mampu memberikan kepuasan pada penulis akan nasib tokoh utamanya dan sepertinya memberikan tujuan baru bagi sosok Candyman.

Film ini seakan kebingungan untuk menentukan posisi dirinya akan menjadi film remake, reboot atau sekuel, sehingga kesulitan dalam menceritakan plotnya yang memiliki koneksi dengan film Candyman (1992). Pengungkapan penjahat di ujung sangat tidak terstruktur, tidak ada kejelasan motivasi dari si penjahat melakukan hal-hal di klimaks film. Bahkan adegan-adegan flashback yang diselipkan tidak mampu menjelaskan dengan baik. Di pertengahan babak ketiga ujug-ujug si pelaku muncul dan beraksi. Hal lain yang patut dijadikan catatan adalah kurang mampunya DaCosta membangun ketegangan dalam tiap adegan pembunuhan yang ditampilkan. Gore atau adegan sadis tetap ada, meski minim, namun ketegangan nyaris tidak ada. Film terasa flat justru di bagian-bagian yang seharusnya menegangkan.

Secara teknis, di luar sinematografi dan komposisi gambar jempolan layaknya karya seni lukisan, film ini juga punya tata komposisi musik yang mantap. Digawangi penata musik Robert Aiki Aubrey Lowe yang pernah bekerja membantu departemen musik di film Arrival, It Comes At Night dan Sicario, menunjukkan skill bermusiknya dengan mengkomposisikan alunan-alunan music score dalam Candyman ini.

Dari sisi akting, Yahya Abdul-Mateen II (Aquaman) jadi sosok leading man yang mampu mengundang simpati sekaligus bikin kesal lewat karakter Anthony yang ia bawakan. Sementara Teyonah Parris (If Beale Street Could Talk, Dear White People) menjadi penyeimbang yang pas. Di luar kedua peran utama tidak ada lagi yang menarik perhatian selain Rebecca Spence (Public Enemis, Contagion) sebagai sang kritikus karya seni yang lugas dan berkarakter.

Kesimpulan

Meskipun bukan tipe film horor yang sangat menyeramkan, Candyman punya momen-momen misterius dan adegan-adegan pembunuhan yang bikin bergidik ngeri dan mengundang rasa penasaran. Bersiaplah diteror oleh Candyman sang pembunuh legendaris yang akan muncul dari cermin dan bersenjatakan pengati tajam. 

Candyman mulai tayang di bioskop Indonesia mulai tanggal 27 Oktober 2021.

Candyman | 91 mins | Dir: Nia DaCosta | Script: Jordan Peele, Win Rosenfeld, Nia DaCosta | Cast:  Yahya Abdul-Mateen II, Teyonah Parris, Colman Domingo, Rebecca Spence, Vanessa Williams | Bron, MGM, Universal Pictures

Komentar

Postingan populer dari blog ini

GITA CINTA DARI SMA (2023) – ADAPTASI PROGRESIF DARI ROMAN REMAJA TERHALANG RESTU

JOY RIDE (2023) – PETUALANGAN SERU, KOCAK & LIAR 4 CEWEK ASIA

COBWEB (2023) - HOROR KLASIK ATMOSFERIK BIKIN BERGIDIK